teks berjalan

Om Swastyastu, Selamat Hari Suci galungan dan Kuningan. Selamat datang di Blog Pande Tamanbali, segala informasi tentang Warga Pande Tamanbali ada di sini, mari berbagi bersama tentang sesana ke-Pande-an, jaga selalu persaudaraan kita agar menjadi suri tauladan, ingat selalu menjalankan bhisama dan terima kasih telah berkunjung. Om Santih, Santih, santih

Minggu, 05 Januari 2014

PANDE WAYAN SUTEDJA NEKA : WUJUD SUMBANGSIH BAGI PERTIWI

Pengabdian adalah sebuah tonggak sebagai perwujudan rasa idealisme kepada apa yang dicintai dan dijunjung.

Mungkin hanya mereka yang teguh dan berhati luhur yang mampu menggelar idealismenya untuk dipersembahkan bagi bangsa, negara dan generasi yang akan datang dalam kemasan bagaikan bunga emas yang dirangkai satu demi satu dari tahun ke tahun.

Pande Wayan Sutedja Neka, adalah salah satu sosok panutan itu. Dengan langkah dan pemikirannya untuk mempertahankan karya seni lukis Indonesia dari masa ke masa, sekedar untuk menyisakan satu bukti kekayaan budaya bangsa bagi generasi Indonesia, sepuluh, seratus, atau bahkan seribu tahun yang akan datang, ia wujudkan dengan mendirikan sebuah museum swasta pertama yang di dalamnya tersimpan karya - karya seni lukis dari seni lukis tradisional, modern dan kontenporer di Bali yang kini megah dan tersorot dengan nama museum Neka.

Sutedja Neka lahir 21 Juli 1939 sebagai anak sulung dari tiga bersaudara, terlahir dengan nama Pande Wayan Sutedja, dari ayah bernama Wayan Neka dan ibu Ni Wayan Lunga.

Ayahnya, Wayan Neka adalah seorang pematung dari kelompok Pita Maha yang sangat terkenal sebagai pemahat patung Singa dan patung Garuda yang jempolan di Ubud dan rupanya dari sinilah darah seni mengalir pada tubuh Wayan Sutedja.

Sejak kecil ketertarikannya pada seni begitu besar. Bahkan, manakala Wayan Sutedja diajak ayahnya mengantar karya patung yang akan diikut sertakan dalam sebuah pameran ke rumah pelukis Belanda, Rudolf Bonnet, ia menjadi begitu kagum dengan koleksi patung dan lukisan yang ada di sana.

Maka tercetuslah suatu angan dalam hatinya; “Kelak bila aku dewasa, aku ingin seperti tuan Bonnet, memiliki begitu banyak patung dan lukisan yang bagus-bagus”. Angan itu seakan terpatri di dalam jiwa dan mengeras membatu menjadikannya sebuah obsesi yang tumbuh dari diri bocah yang setia akan cita-citanya dan berusaha mewujudkan angannya dalam nyata di hari kemudian.

Masa kanak-kanaknya mendidik dan membentuknya untuk memiliki rasa kecintaan akan seni yang begitu mendalam, maklumlah ia anak seorang seniman besar. Meski demikian Pande Wayan Sutedja tidak ketinggalan mendapatkan pendidikan formal, bahkan ke dua orang tuanya berharap dapat untuk memberikan kepadanya pendidikan yang setinggi-tingginya. Pande Wayan Sutedja memulai pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat (SR) Peliatan yang diteruskannya ke Sekolah Guru Bawah Gianyar kemudian berlanjut ke Sekolah Guru Atas yang ditempuhnya di Denpasar.

Setelah lulus dari nuansa belajarnya, sesuai pendidikan yang ia tempuh, maka jadilah Pande Wayan Sutedja seorang pendidik. Pengabdiannya sebagai guru dimulai pada tahun 1959. Di awali pada Sekolah Dasar di desa Kembangsari Kintamani, Bangli, kemudian di tahun 1960, pindah ke desa Mas, Ubud, Gianyar, lalu berlanjut sebagai pengajar pada Sekolah Menengah Pertama hingga tahun 1969. Di masa-masa inilah ia menemukan pasangan hidupnya seorang gadis bernama Ni Gusti Made Srimin dan kemudian ia nikahi pada tanggal 3 Mei 1963.

Walaupun ia seorang guru, jiwa seninya telah terlanjur lekat dalam dirinya dan yang membuatnya begitu tergugah yaitu pada saat tanggal 17 Agustus 1960, ayahnya, Wayan Neka, menerima piagam penghargaan karya seni patung terbaik di provinsi Bali dan di tahun 1964 sebagai pemahat Bali pertama yang membuat patung Garuda setinggi tiga meter dalam New York World Fair. Peristiwa ini berkesan sangat dalam di hati Pande Wayan Sutedja yang kemudian dengan kesan itu ia mendirikan sebuah kios di Peliatan dengan nama Neka Art Shop dan kini menjadi besar di Ubud sebagai Gallery Neka.

Keterlibatannya akan seni semakin melilit cinta di hatinya, membuat waktunya makin tercurah terhadap peristiwa dan hal-hal seni, terutama seni lukis, di mana lingkungan ia berada adalah lingkungan seniman lukis, terlebih lagi persahabatannya dengan para pelukis seperti Arie Smith dan Rudolf Bonet begitu dekat, membuat ia mulai mencoba mengkoleksi beberapa karya-karya yang bermutu.

Pada tahun 1975 ia bersama Rudolf Bonet berkeliling Eropa, mulai dari London, Paris, Roma, Jenewa sampai Amsterdam-Belanda untuk mempelajari museum dan gallery. Hasil dari itu semua semakin mempertebal niatnya dan mengilhaminya untuk berbuat lebih lagi dengan mendirikan museum seni rupa di Bali.

Bagi Pande Wayan Sutedja, karya-karya pelukis Bali harus dilestarikan sedari sekarang. Karena apabila tidak di mulai saat ini lalu kapan dan siapa lagi yang akan memulainya. Setelah ia menimbang rasa, ia putuskan untuk mengakhiri karirnya sebagai guru sekolah untuk mendharma bhaktikan hidupnya demi kelestarian budaya seni lukis Bali.

Dengan idealisme yang begitu kental dalam dirinya, pada tahun 1976 ia mulai membuka museum Neka. Pada tanggal 7 Juli 1982, Museum Neka diakui oleh pemerintah dan diresmikan oleh Dr. Daoed Joesoef selaku menteri Pendidikan dan Kebudayaan di waktu itu.

Jadilah nama Neka seakan melegenda di bumi Bali sebagai pelopor dan pemelihara seni, sedang dipilihnya nama Neka sebagai nama museum yang ia dirikan, memang ditujukan untuk mengabadikan nama ayahnya.

Dan nama itupun melekat di akhir nama Pande Wayan Sutedja yang kini lebih dikenal dengan nama Pande Wayan Sutedja Neka.

Dari masa ke masa, satu demi satu lukisan ia kumpulkan, museum ini mulai berkembang dan terus menerus diusahakan untuk mencapai mutu yang tinggi guna memenuhi panggilan nuraninya sebagai dharma sebuah museum.

Agaknya Sutedja Neka konsekwen dengan idealisme hati nuraninya, karena ia beranggapan bahwa uang yang ia peroleh dari pelukis harus dikembalikan kepada pelukis dan hasil dari seni harus kembali pula pada dunia seni itu sendiri.

Walau banyak halangan dan keraguan beberapa orang akan niat tulus Sutedja Neka, tetapi ia terus tetap maju, karena niatnya serta tekadnya telah bulat dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Apapun yang terjadi, seni lukis Bali harus ada yang memelihara dan jangan sampai karya terbaik putra-putri bangsa ini malah terboyong ke tangan kolektor, galeri atau museum di luar negeri sana.

Maka atas dasar itulah Sutedja Neka disemati hadiah-hadiah penting dari pemerintah. Salah satunya pada hari Senin, tanggal 16 Maret 1992, Gubernur Bali Prof. Dr. Ida Bagus Oka, memberikan tanda jasa berupa Anugerah Seni Dharma Kusuma, berserta lencana emas. Dan karena jasa-jasanya itulah banyak lagi penghargaan-penghargaan yang diperolehnya atas pengabdian, kreatifitas dalam usahanya meningkatkan mutu dan pelestarian budaya daerah Bali. Tidak kurang pula piagam dan anugerah ia terima, bahkan Sutedja Neka dianugerahi Piagam Hadiah Seni Rupa pada tanggal 15 Juni 1993 sebagai penghargaan tertinggi dalam bidang Seni Rupa dari pemerintah pusat atas keputusan Presiden RI ke-2 yang diterimakan oleh Mendikbud Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro.

Kesemua itu dimaksudkan sebagai hadiah seni tertinggi, karena ia dianggap berjasa bagi perkembangan seni rupa tradisional dan kontemporer.

Adapun kini banyak sudah kita jumpai museum-museum seni yang mulai menjamur di Bali ini, maka semua itu tak lepas dari tauladan yang telah Sutedja Neka tularkan dalam usaha keras dan dedikasi yang luar biasa untuk mendirikan museum dengan biaya sendiri yang untuk selanjutnya dipelihara dan dikembangkan dengan baik.

Akhirnya sebuah kisah dari sebuah legenda Neka ini akan terus mewarnai dunia seni rupa Bali, bahkan kini Museum Neka telah berkembang koleksinya dengan adanya Museum Keris dan Museum Batik dalam satu zona kawasan di areal Museum Neka.

Segala upaya seorang Neka untuk mengabadikan seni badaya bangsa ini jelas merupakan sebuah dedikasi pengabdian luar biasa untuk mewariskan sejarah adiluhung bangsa ini kepada kita semua dan generasi berikutnya.

Semoga kelak di zaman atau abad berikutnya akan terlahir kembali Neka-Neka lainnya di seluruh tanah persada Indonesia, demi keagungan, lestari dan terpeliharanya kebudayaan Bangsa dan Pertiwi Indonesia.


DATA PRIBADI
  • Nama : Pande Wayan Sutedja Neka
  • Nama kecil : Pande Wayan Sutedja
  • Tempat/Tanggal lahir : Peliatan, Ubud, 21 Juli 1939
  • Agama : Hindu
  • Alamat : Lingkungan Taman Kaja, Ubud, Gianyar
  • Profesi : Pembina Seni Rupa Tradisional & Kontemporer
  • Pendidikan formal : - Sekolah Rakyat Peliatan; - Sekolah Guru Bawah Gianyar; - Sekolah Guru Atas Denpasar
  • Menikah : 3 Mei 1963
  • Nama Istri : Ni Gusti Made Srimin Sutedja
  • Jumlah anak : 4 orang
  • Riwayat karir : - Guru SD dan SMP (1959-1969); - Mengelola Neka Gallery (1966-1982); - Kolektor lukisan, pendiri dan kurator Neka.
  • Penghargaan : - 1993. Lempad Prize; - 1983. Diploma ITALART (Associazione Italiana Artistica Culturale) / Badan Kordinasi Kesenian dan Kebudayaan Italia; - 1988. Penghargaan Seni dari East-weast Center Honolulu, Hawai - U.S.A.; - 1992. Penghargaan Seni Dharma Kusuma dari Bupati Gianyar.; - 1997. Heritage Award dari Pacific Asia Travel Association (PATA) Indonesia Chapter; - 1997. Anugrah Adikarya Pariwisata dari Presiden Republik Indonesia ke-2.
  • Aktif sebagai : - Anggota Pengurus Maha Semaya Warga Pande TK I Bali, sebagai Bendahara.; - Ketua Badan Pertimbangan Pariwisata, Seni dan Budaya Kabupaten Gianyar.
  • Hobby : Mengkoleksi Lukisan
  • Tokoh Idola : Penari Arja (Desak Rai)
  • Lagu Kenangan : Menunggu di bawah Pohon Kamboja
  • Tempat Berkesan : Ubud – Bali
  • Warna Favorit : Warna cerah
  • Semboyan Hidup : Hidup ini adalah Dharma Bhakti, Hidup ini adalah Seni, Dengan karya seni akan lebih abadi.
  • Pesan : Hendaklah para generasi pada pendahulunya yang telah menemukan jati diri.
Sumber : Tokoh Bali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar, asal yang positif dan membangun! Terima kasih ^_^ Sampunang ngraos kasar-kasar ring komentar ngih. Suksma.